Selasa, 30 Juli 2013

“METODE THD UNTUK MEWUJUDKAN WILAYAH BEBAS KORUPSI”



“METODE THD UNTUK MEWUJUDKAN WILAYAH BEBAS KORUPSI”

T-H-D adalah singkatan dari beberapa kata. “T” adalah Tafakur (contemplation), merenung. “H” adalah hisab, muhasabah, menghisab diri (self reflection), introspeksi, menimbang–nimbang
diri kita. “D” adalah dzikir (remembering) mengingat hidup, mengingat Tuhan. Kegiatan Tafakur, Hisab, Dzikir kita dijalani agar qolbu menjadi kokoh, lalu tumbuhlah iman.
Metode THD yang dikembangkan disini adalah suatu metode yang dapat menyentuh hati dan meningkatkan keimanan. Bila hati sudah tersentuh, sementara niat sebagai pangkal perilaku
ada di dalam hati, maka diharapkan kesadaran untuk tidak korupsi akan muncul.
“Ingatlah bahwa dalam tubuh terdapat sepotong daging, apabila ia baik maka baiklah badan itu seluruhnya, dan apabila ia rusak, maka rusaklah badan itu seluruhnya, ingatlah itu adalah
hati”. (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Tafakur alam adalah proses merenung dan memperhatikan alam. Kita “melihat” kebesaran Tuhan di jagad raya dan sekaligus memahami betapa kecilnya manusia. “Melihat” mungkin
awalnya dengan mata fisik. Tetapi, lambat laun yang lebih utama adalah “melihat” dengan hati, dengan “mata batin”. Dengan tafakur, manusia memperoleh kesadaran, eksistensi diri sebagai
makhluk Tuhan, yang harus tunduk, taat dan berakhlaq baik. Agar manusia sadar, bahwa mereka adalah makhluk yang unik di jagad raya. dari banyak galaksi, hanya ada satu galaksi
Bimasakti. Dari sekian bintang Bimasakti, hanya ada satu matahari. Dari sekian planet di matahari, hanya ada satu yang bernama bumi. Dan dari sekian planet yang ada, hanya bumi yang
dihuni manusia. Paling tidak itu yang kita tahu. Padahal bintang-gemintang, jagad raya demikian luas, sangat-sangat luas. Matahari kita saja bagaikan setitik cahaya di angkasa nan luas. Selain
tafakur alam, kita juga menafakuri keajaiban yang ada pada diri manusia, mulai dari fenomena sel, fenomena kehidupan embrio dalam rahim, fenomena kerja otak, darah, dll yang
berlangsung dalam diri manusia yang berjalan dengan sangat teratur dan dibuat dengan sangat rumit dan teliti oleh Allah SWT.
Allah berfirman dalam salah satu ayat-Nya:
“Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda – tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang yang mengingat Allah sambil berdiri,
duduk, berbaring, dan mereka memikirkan (tafakur) penciptaan langit dan bumi, seraya berkata “Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imron: 190-191).
Dengan menafakuri alam, kita akan “melihat” kebesaran-Nya dengan mata hati, akan menumbuhkan ke-YAQIN-an, keimanan. Dengan tafakur akan muncul “kesadaran”, bahwa kita adalah
makhluk yang diciptakan.
Muhasabah berasal dari kata “hisab”, mengevaluasi diri, menilai amal ibadah. Hisab adalah proses menghitung dan menimbang amal perbuatan diri. Qolbu kita menimbang – nimbang apa
yang kita lakukan.
“Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Alhasyr: 18).
Umar r.a berkata: “Hasibu anfusakum kobla antuhasabu”. Hisablah diri kalian, sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah kalian untuk yaumul hisab, karena hisab pada hari itu sangat berat bagi
mereka yang kurang menghisab dirinya.
Hisablah diri kita sebelum kita dihisab. Putuskan untuk memperbaiki diri kita sebelum kita diputuskan, dilemparkan ke neraka jahanam. Perbaiki diri kita mumpung batas usia masih tegak
berdiri. Mumpung nafas ini masih ada dalam jiwa. Mumpung hari – hari masih dapat kita lalui bersama. Inilah hasil kerja qolbu dan muhasabah. Kita menghisab diri menimbang-nimbang
diri, menyesalinya lalu tobat, beriman dan sadar bahwa visi hidup kita sebagai abid hamba Allah yang harus ikhlas dalam pengabdian kepada-Nya. Maka muhasabah adalah proses “Kiamat”
kecil, yaumul hisab kecil, pengadilan kecil yang kita hadirkan secara sadar setiap hari, dimana hakimnya adalah qolbu kita sendiri.
Dzikir adalah segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT, baik berupa shalat, puasa, tasbih, tahmid, tahlil maupun membicarakan hukum halal-haram, belajar, jual-beli, nikah
termasuk dzikir. Namun, ada kriteria untuk dapat diterima Tuhan, yakni selama dilakukan dengan niat yang ikhlas. Dengan dzikir kita mengingat kehidupan ini, mengingat Allah SWT,
mengingat Nabi, dan mengingat maut. Sehingga kita tidak lupa diri, hingga hati kita semakin dekat kepada Allah, kepada Tuhan Pencipta manusia.
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah kamu dengan menyebut kalimat Allah SWT, dzikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (Q.S. Al-
Ahzab: 41-42).
Sesungguhnya Rasulullah SAW berdzikir kepada Allah SWT setiap masa, setiap saat setiap ada kesempatan. Tidak pernah berhenti menggetarkan bibirnya dan hatinya berdzikir kepada Allah
SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya segala sesuatu itu ada pembersihnya, ada obatnya. obat hati yang sakit adalah dzikir kepada Allah.” (Al Hadits).
Dengan dzikir kita dekat dengan Allah SWT, mengetahui arah, tujuan hidup kita di alam ini. Kita menjadi tahu misi kita, misi hidup otentik penciptaan manusia di bumi ini. Manusia
diciptakan sebagai khalifah.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 56).
Sebagai hamba Tuhan, maka manusia harus ikhlas. Hamba Tuhan wajib memurnikan loyalitas pengabdiannya. Implementasi sebgai khalifah di muka bumi ini, maka misi hidup manusia
adalah memakmurkan, membangun, merawat, dan memelihara bumi. Sebagai khalifah menuntut prinsip hidup profesional dan ihsan. Ihsan, itqon dekat dengan makna profesional. Namun,
ada kualitas yang satu tingkat lebih tinggi dari profesional, dari profesi, yakni devosi. Devosi adalah sebuah profesi yang dihayati dengan baik, memadukan kompetensi, expertise, kolega,
networking dan responsibility etika, dengan unsur niat dan ibadah. Sebentuk cara mengabdi kepada Allah melalui jalur profesi, sebentuk kerja yang sarat unsur profetik dan religius di
dalamnya.
Melalui proses T-H-D, qolbu yang hidup akan menghasilkan satu nilai dasar, yakni keyakinan otentik hidup manusia IMAN. Satu nilai dasar iman. Dari iman memunculkan kesadaran hidup
manusiawi, yakni tiga utama: 1) eksistensi di alam sebagai MAKHLUK, 2) Visi diri sebagai ABID, dan 3) Misi hidup sebagai KHALIFAH. Dari sini kita lalu dikokohkan tiga Prinsip Hidup, yakni:
Prinsip AKHLAKUL KARIMAH, prinsip IKHLAS, dan prinsip IHSAN.
Hasil interaksi dari itu semua dalam hidup dan kehidupan akan mengantarkan manusia pada kesuksesan. Mereka akan berjalan dalam hidup ini dengan lurus dan berikrar secara jujur dalam
hati: bahwa: “Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Kami tak akan mengingkar, dan saksikanlah bahwa aku adalah orangorang
yang berserah diri.” (Q.S. Al – An’aam: 162).
Allah Maha Suci, dan hanya senang kepada yang suci. Allah membenci yang kotor. Kita datang kepada Allah dengan makanan yang haram, pakaian yang haram, hati yang kotor, apakah kita
masih berani memohon kepada-Nya?
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membeli baju dengan sepuluh dirham, sedangkan satu dirhamnya saja dari yang sepuluh itu haram, maka Allah SWT tidak akan menerima shalat
orang tersebut selama baju itu dipakainya.” (HR. Ahmad).
Muhasabah sangat perlu untuk kita lakukan. Apakah kita telah melaksanakan tugas dengan baik dan ikhlas? Bersungguh – sungguhkah ibadah kita kepada Allah SWT? Apakah bentuk
pengabdian kita sebagai khalifah di muka bumi? Apakah kita telah menjaga amal – amal itu dan menunaikan kewajiban kita dengan ihsan, penuh tanggung jawab, penuh kesadaran jiwa,
ataukah kita masih lalai dan bersenda gurau. Apakah kita mengambil hak – hak orang lain, hak yang bukan milik kita, merampas hak petani, hak orang, hak kaum miskin, hak anak yatim.
Kita ambil hak – hak mereka, semata – mata untuk kepentingan kita. Kita gunakan hak – hak mereka untuk membangun rumah, membeli mobil, membeli makanan untuk keluarga, bahkan
mendermakan kepada orang lain. Naudzubillahi mindzalik.
Kita menganggap itu bersih, halal, aman, sehat, selamat. Tidak ada yang tahu, polisi tidak tahu, jaksa tidak tahu, irjen tidak tahu, kita lupa bahwa Allah Maha Melihat apa yang kita kerjakan.
Tidak ada yang terlewatkan sedikitpun. Catatan Allah sangat teliti. Allah yang memberi kita kekuasaan, dan Allah dapat mencabut kekuasaan itu kapan saja. Tidak ada yang menjadi milik
kita seutuhnya. Allah berkuasa pada manusia, Allah berkuasa terhadap jiwa – jiwa manusia.
“Wahai Sa’ad, Sahabatku, perhatikan makananmu. Demi dzat Muhammad yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya apabila seorang hamba makan walau hanya satu suap tetapi berasal dari
yang haram, maka tidak diterima amal ibadahnya selama 40 hari. Siapa saja manusia yang dagingnya tumbuh berasal dari sumber yang haram maka neraka lebih utama baginya.” (HR.
Thabrani).
Tempat kembali mereka yang mengambil hak – hak orang lain adalah neraka, dan sesungguhnya ia seburuk – buruk tempat tinggal bagi orang – orang yang zhalim, orang – orang yang tidak
tahu hak dan bukan hak, orang – orang yang tidak tahu memperlakukan sesuatu dengan adil. Naudzubillahi mindzalik.
*Disadur dari “Metode T-H-D untuk Sukses Hidup” dan “WBK Memberantas Korupsi dengan Sentuhan Hati” oleh Dr. Mulyanto, M.Eng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar