BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika
bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah
menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini.
Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum,
baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak ketimpangan dan ketidakadilan
muncul dalam panggung pengadilan.
Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin
akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang
berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam
proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan
bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam
perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah
uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang,
karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan
menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah
uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan
kebenaran.
Supremasi hukum di Indonesia memang masih harus
direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional
terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidak adilan hukum
yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya
setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi
masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidak adilan sudah biasa terjadi. Namun
bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya
menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Karena mereka dapat menggunakan uang
untuk meringankan hukuman yang seharusnya dijatuhkan padanya.
Tetapi kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja karena
ketidak adilan hukum ini terjadi karena kesepakatan dari pihak yang
bersangkutan sehingga hukum di indonesia
tidak berjalan dengan semestinya padahal hukum itu merupakan peraturan hukum yang bersifat
memaksa dan mengikat.
Ketidakadilan hukum di indonesia akan berjalan apabila
pihak penegak hukum menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya, dan memberikan
hukuman yang sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya baik dari kalangan bawah
maupun dari kalangan atas dengan tegas.
Seperti kasus dibawah ini tentang seorang nenek yang mencuri 3 buah kakao dan akibat perbuatannya
itu ia dikenakan hukuman 1,5 kurungan atau (1 bulan 15 hari). hukuman yang
diberikan terhadap nenek itu tidak salah yang jadi permasalahannya sekarang
adalah nenek yang mencuri 3 kakao saja dihukum tetapi orang yang mencuri lebih
dari apa yang diperbuat nenek tersebut justru tidak dihukum.
B. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah
untuk mengetahui perkembangan hukum di
negara, terutama di indonesia agar kita mengerti dan mengetahui kondisi hukum
di Indonesia apakah
sudah berjalan dengan semestinya atau malah sebaliknya, dan dengan kita mengetahui perkembangan
hukum di Indonesia kita
dapat memperbaiki penegakkan hukum dinegara Indonesia kita kedepannya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kasus Ketidak
Adilan Hukum Di Indonesia
Ketidak adilan hukum di Indonesia selalu terjadi antara golongan bawah dengan
golongan atas seperti kasus yang terjadi yaitu hukum hanya berlaku bagi pencuri
kakao, pencuri pisang, dan pencuri
semangka
(koruptor
dilarang masuk penjara).
Ketidak adilan hukum yang terjadi di
Indonesia masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan
dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus
ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan
secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang
sama tanpa kecuali.
Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi
masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi
masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya
menjerat mereka dengan tuntutan hukum.
Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan
kurungan adalah salah satu contoh ketidak adilan hukum di Indonesia. Kasus ini
berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah. Kami setuju apapun yang namanya
tindakan mencuri adalah kesalahan. Namun demikian jangan lupa hukum juga
mempunyai prinsip kemanusiaan. Masak nenek-nenek kayak begitu yang buta
huruf dihukum hanya karena ketidak tahuan dan keawaman Nenek Minah tentang
hukum.
Menitikkan air mata ketika kita menyaksikan Nenek Minah
duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya yang sudah keriput dan tatapan
kosongnya. Untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek Minah harus meminjam uang
Rp. 30.000,- untuk
biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.
Seorang Nenek Minah saja bisa menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam
uang untuk biaya transportasi. Seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin
banyak yang mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang
dibuat-buat atau alasan lainnya,seperti korupsi kelas kakap.
Tidak malukah dia dengan Nenek Minah? Pantaskah Nenek Minah dihukum hanya
karena mencuri 3 buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari Rp. 10.000,-?
Dimana prinsip kemanusiaan itu?
Inilah sebenarnya yang menjadi ketidak adilan hukum yang
terjadi di Indonesia. Begitu sulitnya menjerat mereka dengan tuntutan hukum.
karena mereka punya kekuasaan, punya kekuatan, dan punya banyak uang sehingga
bisa mengalahkan hukum dan hukum tidak berlaku bagi mereka para koruptor. Kami sangat
prihatin dengan keadaan ini.
Sangat mudah menjerat hukum terhadap Nenek Minah, gampang
sekali menghukum seorang yang hanya mencuri satu buah semangka, begitu mudahnya
menjebloskan ke penjara suami-istri yang kedapatan mencuri pisang karena
keadaan kemiskinan. Namun demikian sangat sulit dan sangat berbelit-belit
begitu akan menjerat para koruptor dan pejabat yang tersandung masalah hukum di
negeri ini. Ini sangat diskriminatif dan memalukan sistem hukum dan keadilan di
Indonesia. Padahal dihadapan hukum
mereka mempunyai kedudukan sama.
Kami tidak membenarkan tindakan pencurian yang dilakukan oleh Nenek Minah dan mereka-mereka yang
mempunyai kasus seperti Nenek Minah. Kami juga tidak membela perbuatan yang
dilakukan oleh Nenek Minah dan mereka-mereka itu. Tetapi yang jadi masalah
adalah dimana keadilan itu, dimana prinsip
kemanusian, seharusnya para
penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan hanya menjalankan hukum
secara positifistik.
Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah
yang
mempunyai
kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka
pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa
seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan
pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan
seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat
berkeliaran dengan bebasnya.
Muflih Bambang Lukmono, Hakim Ketua Pengadilan
Negeri Purwokerto, Jawa Tengah yang menangani kasus nenek Minah, yang dituduh
mencuri 3 biji buah kakao terbata-bata dan menahan air mata. Hal ini karena ia tak kuasa menahan haru
saat akan membacakan putusannya di depan terdakwa yang sangat lugu. Sementara
beberapa pengunjung sidang juga terlihat meneteskan air mata.
Hakim akhirnya memutuskan pidana penjara selama satu
bulan lima belas hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah dijalani
terdakwa. Putusan inipun langsung disambut tepuk tangan para pengunjung sidang.
Kasus ini menjadi menarik dan menjadi perhatian
wartawan, LSM dan pengamat hukum karena di saat turunnya kredibilitas penegak
hukum yaitu polisi dan kejaksaan, justru ada seorang nenek yang dituduh mencuri
3 biji buah kakao dan dimeja hijaukan.
Sebelumnya, Nenek Minah yang berusia lima puluh lima tahun, Warga Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini sudah menjalani masa tahanan rumah selama 3 bulan. Hal ini ia jalani setelah mendapatkan pemeriksaan dari pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto yang menangani kasusnya.
Sebelumnya, Nenek Minah yang berusia lima puluh lima tahun, Warga Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini sudah menjalani masa tahanan rumah selama 3 bulan. Hal ini ia jalani setelah mendapatkan pemeriksaan dari pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto yang menangani kasusnya.
Minah dituduh mencuri buah kakao atau buah coklat
sebanyak 3 biji dari tempatnya ia bekerja di PT. Rumpun Sari Antan 4 di Desa
Darmakradenan tak jauh dari rumahnya. Sementara itu, pihak Jaksa Penuntut Umum
masih pikir-pikir terhadap putusan yang dibacakan hakim ketua. “Saya masih
pikir-pikir dahulu atas keputusan hakim,” ujar Nurhaniah SH, Jaksa Penuntut
Umum, Kamis (20/11/2009).
Rasa simpati juga ditunjukkan warga yang mengikuti
sidang ini. Mereka secara spontan menyumbangkan uangnya kepada nenek Minah untuk
ongkos pulang ke kampungnya yang berjarak sekitar 45 kilometer dari pengadilan.
Pertanyaan
selanjutnya adalah, apa bangsa ini sudah dibilang merdeka dan mandiri sedangkan
hukumnya saja di kontrol dengan uang? Indonesia bahkan belum dapat di bilang sepenuhnya
merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan pemerintahannya
sendiri.
Hukum dan
keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat,
biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di
negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain
dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”.
Bahkan
secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir
maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat
diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita
sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan
dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada
seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.
Kenyataan
ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak
kepada mereka yang lemah dan miskin. Sindiran yang sifatnya sarkatisme
mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik
dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai
pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”.
Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-
Tokoh tertentu dalam masyarakat kita
tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk
sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawabnya.
2.
Tinjauan Kasus Pencurian Biji Kakao oleh Mbok Minah
Terhadap Asas Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilan
a.
Tinjauan
dari Segi Hukum
Apabila menilik kasus pencurian biji
kakao yang dilakukan oleh Mbok Minah, sebenarnya hal tersebut merupakan hal
yang biasa di dunia penegakan hukum di Indonesia. Ketika seseorang terbukti
melakukan suatu perbuatan pidana, dan perkaranya diproses hingga ke tingkat
pengadilan , maka sudah semestinya orang tersebut sudah semestinya dipidana.
Berdasarkan tujuan hukum, putusan
majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut telah tepat, Karena
sesuai asas kepastian hukum, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan
terdakwanya masyarakat miskin serta, benar dan salahnya seseorang harus
dibuktikan terlebih dahulu di persidangan yang terbuka untuk umum, serta hakim
telah melihat bukti-bukti yang ada di persidangan bahwa dari bukti tersebut
hakim berpandangan bahwa nenek minah terbukti bersalah
Namun dari data yang diperoleh dari
berbagai sumber, berdasarkan analisis saya, dalam kasus nenek minah kesalahan
terjadi ketika proses penyidikan berlangsung, seharusnya penyidik polri dapat
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) demi kepentingan umum
berdasarkan asas oportunitas, dan juga kepemilikan tanah perkebunan tersebut
masih menjadi sengketa kepemilikan.
Serta dari proses penyidikan sampai
dengan proses persidangan telah terjadi pelanggaran Miranda rules sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 ayat (1)
KUHAP. Padahal pasal yang disangkakan dan didakwakan adalah pasal 362 KUHP yang
ancaman pidananya paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
Sembilan ratus rupiah.
Dalam penegakan hukum ini telah
terjadi pelanggaran hukum, yaitu hak nenek minah untuk didampingi penasihat
hukum telah dilanggar. Ibarat dalam peribahasa “mencuci baju kotor dengan air
combera”, yang bermakna menegakan hukum dengan melanggar hukum.
b.
Tinjauan
Sosiologis
Jika ditinjau dari sisi sosiologis
maka kasus ini adalah kasus yang tidak layak untuk dilanjutkan dalam
proses peradilan, walaupun kenyataannya perbuatan Mbok Minah telah
memenuhi unsur melawan hukum dalam pasal 362 tentang pencurian dengan ancaman
pidana penjara 5 tahun. Secara kemasyarakatan buah kakao yang diambil oleh Mbok
Minah yang nilainya tak lebih dari Rp. 2100,00 tidak sebanding dengan proses
peradilan yang dijalaninya. Seharusnya PT. RSA dan pihak kepolisian
berinisiatif untuk menyelesaikan masalah kecil seperti ini secara kekeluargaan,
tidak perlu dilanjutkan ke proses peradilan. Secara kemasyarakatan jika kasus
ini ditinjau secara mendalam maka kasus ini tidak memenuhi unsur keadilan dalam
masyarakat, Apalagi jika dibanding-bandingkan dengan kasus korupsi yang
terkesan prosesnya tebang pilih dan prosesnya terulur-ulur. Mbok minah
merupakan seseorang nenek tua yang tidak bisa membaca papan peringatan milik
PT. RSA dan juga dia tidak jadi mengambil kakao tersebut (mengembalikan kakao
kepada mandor) serta juga telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
Pandangan masyarakat menyimpulkan bahwa unsur-unsur sosial tersebut merupakan
hal yang harus dipertimbangkan oleh pihak yang merasa dirugikan atau pihak
penegak hukum untuk melanjutkan proses peradilan terhadap Mbok Minah, walaupun
hakim memutuskan hukuman 1 bulan tanpa harus dikurung. Putusan hakim tersebut
menunjukkan bahwa perbuatan Mbok Minah salah secara hukum, tapi secara
sosiologis hal tersebut tidak menunjukkan keadilan.
3. Analisis kasus sosiologi
hukum tentang ketidakadilan hukum di Indonesia.
Dari kasus diatas dapat kita lihat terjadinya ketidak adilan
hukum tetapi bukan berarti membenarkan
tindakan pencurian oleh Nenek Minah dan mereka-mereka yang mempunyai kasus
seperti Nenek Minah. Perbuatan yang
dilakukan oleh Nenek Minah dan temannya yang lain adalah perbuatan yang salah
dan harus dijatuhi hukuman. Tetapi yang jadi masalah adalah dimana keadilan
itu, dimana prinsip
kemanusian, seharusnya para
penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan hanya menjalankan hukum
secara positifistik dimana hukum hanya berlaku bagi yang lemah saja.
Sebab-sebab terjadinya tindakan pidana yang dilakukan
oleh nenek Minah adalah sebagai berikut:
·
Kondisi ekonomi,
sehingga ia terpaksa mencuri buah karena perutnya lapar;
·
Tidak memiliki pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhannya;
·
Karena ketidak
tahuan Nenek Mminah tetang
hukum di Indonesia
maksudnya Nenek Minah
beranggapan kalau perbuatan yang dilakukannya itu tidak akan dihukum karena
hanya mencuri dalam jumlah yang sangat sedikit padahal banyak atau sedikit
pencurian yang dilakukan tetaplah namanya pencurian.
Dampak dari tindakan pencurian yang
dilakukan :
“ Tindakan
pencurian yang dilakukan Nenek Minah mengakibatkan
kerugian bagi
pihak lain dan juga bagi Nenek Minah sendiri
karena
dengan
tindakannya ini ia divonis kurungan selama 1,5 bulan.
4. Solusi Dari
Kasus Ketidak Adilan Hukum Di Indonesia
a.
Perlu adanya reformasi hukum yang
dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat
pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara
berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi
yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.
b.
Sebaiknya penegakkan hukum menegakkan
hukum dengan tegas sesuai dengan kesalahan yang dilakukan tampa membedakan
pihak satu dengan lainnya karena kedudukan kita dihadapan hukum sama.
c.
Kedua belah pihak harus menaati hukum
sebagaimana mestinya dan ini tidak hanya bagi penegak hukum saja tetapi seluruh
warga negara indonesia.
5. Sosiologi Hukum
dalam kehidupan dan kenyataan yang terjadi di kehidupan masyarakat.
Soiologi hukum merupakan peraturan hukum yang mempelajari
hubungan timbal
balik antara hukum
dan gejala sosial.
Jadi didalam kasus
seorang nenek yang mencuri 3 kakao dan juga temannya yang lain dijatuhi hukuman
sedangkan yang melakukan korupsi kelas kakap tidak dihukum secara langsung tapi
membutuhkan waktu yang lama.
Dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala sosial yang
terjadi seperti kasus tersebut yang mengakibat diberikan hukuman pada orang
yang telah melakukan kesalahan dengan hukuman yang sesuai dengan apa
yang telah diperbuatnya.
Tetapi yang jadi masalahnya sekarang bagi pihak yang kuat tidak diberikan
hukuman sesuai dengan apa yang diperbuatnya.
Dalam kasus ini dapat kita lihat terjadinya ketidak sesuaian
hukum dengan kenyataan, padahal seperti yang kita ketahui sosiologi hukum
memiliki banyk kegunaan diantaranya:
a.
Sosiologi hukum berguna untuk
memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum didalam kontek sosial tetapi
kenyataan yang kita lihat walaupun orang mengetahui dan memahami hukum tersebut
tapi tidak menjalankannya dan mempaktekkannya dalam kehidupan nyata.
b.
Penguasaan konsep sosiologi hukum dapat
memeberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum
dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah
masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mncapai
keadaan-keadaan yang sesuai tetapi kenyataan yang terjadi dalam masyarakat
konsep yang telah diketahui tidah dijalankan sehingga mengakibatkan terjadinya
berbagai kejahatan dalam kehidupann masyarakat seperti kasus yang terjadi diatas.
c.
Sosiologi hukum memberikan
kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap
efektifitas hukum didalam masyarakat tetapi kenyataan yang kita lihat pihak
yang lemah langsung dihukum apabila melakukan kesalahan tetapi bagi pihak yang
kuat tidak langsung dikenakan hukuman.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
kasus ini memang putusan yang diberikan oleh hakim telah memenuhi unsur
kepastian hukum tetapi belum memenuhi unsur keadilan dan kemanfaatan. Selain
hal tersebut hakim juga dilarang untuk menolak perkara.Namun bila ditinjau dari
awal proses penyidikan tidak memenuhi rasa keadilan kerena nenek minah bukanlah
satu-satunya orang yang mengambil kakao dari kebun tersebut,nenek minah
mengatakan bahwa sebelum kasus nenek minah diangkat ke jalur litigasi,memang
sudah banyak warga sekitar yang mengambil kakao di kebun tersebut.Hal ini
menunjukan bahwa tidak adanya asas equality
before the law atau semua orang sama di depan hukum.Dan dalam proses ini
juda terdapat indikasi bahwa proses kasus nenek minah terdapat tekanan dari
pihak lain kepada pihak penyidik agar memproses kasus ini karena tanah
perkebunan yang masih menjadi sengketa antara TNI dengan warga setempat.Memang
seharusnya sebuah tindakan yang bertentangan dengan hukum harus diproses demi
memberikan efek jera kepada pelaku
hukum.
Kasus ini
juga telah mencoreng asas kemanfaatan karena biaya kerugian yang di
derita oleh PT. Rumpun Sari Antan (RSA) akibat kehilangan 3 biji kakau
tidak sebanding dengan besarnya biaya perkara dan derita finansial yang di
derita oleh nenek minah karena dirinya tidak mampu berkerja selama proses
perkara berlangsung,sedangkan nenek minah hanyalah wanita tua yang
berpenghasilan kecil. Selain itu besar kerugian yang diderita oleh PT. Rumpun Sari Antan (RSA) juga
tidak sebanding dengan dampak sosial yang diderita oleh Mbok Minah.
Apabila di
telaah secara sosiologis memang seharusnya kasus pencurian kakau oleh Mbok
Minah tidak perlu dibawa ke jalur litigasi. Karena bila melihat sisi sosial
dari mbok Minah, kasus tersebut diselesaikan secara rukun tetangga
ataupun bisa juga diganti dengan kewajiban lapor bagi pelaku. Untuk masyarakat
seukuran Mbok Minah yang awam dengan bidang hukum,wajib lapor sudah cukup
untuk menimbulkan efek jera. Bila kita lihat dalam prakteknya,banyak perkara
yang ancamanya lebih tinggi dari pada yang dilakukan oleh Mbok Minah, namun
perkara tidak dilanjutkan ke proses penuntutan dan pemeriksaan,hanya saja
pelaku dibebani untuk wajib lapor. Dalam hal ini aparat hukum terlalu
berpatokan kepada apa yang tertulis di dalam KUHP. Seharusnya dalam menangani
perkara hukum, aparat tak hanya mengeja atau membaca teks KUHP. Aparat mestinya
juga menggunakan pendekatan hati nurani dan akal sehat. Sebab, ketika aparat
hanya mengacu pada teks undang-undang, keadilan yang didapat masyarakat hanya
bersifat formal. Berbeda dengan ketika menggunakan akal sehat dan hati nurani,
yang didapat adalah keadilan substansial.Oleh karena itu sejak awal perkara
seharusnya polisi dapat melakukan diskresi, yakni penghentian perkara pidana
selama penyidikan. Adapun di kejaksaan dikenal istilah deponering atau
penghentian perkara demi kepentingan umum.
Dengan
ilmu filsafat hukum yang saya pelajari, kasus ini memang terjadi adanya
kepastian hukum, akan tetapi asas kemanfaatan dan keadilan tidak mengena, dan
ini yang sering timbul dalam kehidupan hukum di Indonesia. Terkadang aparat
kita sering tebang pilih, kasus korupsi yang merupakan kasus berat yang sangat
penting untuk diperoleh untuk kepastian hukum di Indonesia malah tidak
diproses. Suatu realita yang sangat menyedihkan dan segera harus dirubah.
B. Saran
Untuk dapat keluar dari situasi ketidakadilan
penegakan hukum di Indonesia, maka harus ada usaha pembebasan diri dari cara
kerja yang konvensional yang diwariskan oleh madzab hukum positif dengan segala
doktrin dan prosedurnya yang serba formal procedural yang justru
melahirkan keadilan yang bersifat formal bukan keadilan substansial. Pencerahan
dan pembebasan dari belenggu formal prosedural itu barang tentu hanya dapat
ditempuh melalui paradigma hukum progrosif yang sangat peduli kepada kebenaran,
kemanusiaan dan keadilan. Bukankah keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat
tidak hanya dibatasi untuk mencapai kepastian, tapi yang jauh lebih besar dari
itu adalah untuk mencapai kedilan sejati. Hal ini, hanya dapat terwujud dan
didapatkan melalui penegakan hukum secara progresif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar