Senin, 29 Juli 2013

MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak ketimpangan dan ketidakadilan muncul dalam panggung pengadilan.
Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Supremasi hukum di Indonesia memang masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidak adilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidak adilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Karena mereka dapat menggunakan uang untuk meringankan hukuman yang seharusnya dijatuhkan padanya.
Tetapi kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja karena ketidak adilan hukum ini terjadi karena kesepakatan dari pihak yang bersangkutan  sehingga hukum di indonesia tidak berjalan dengan semestinya padahal hukum itu  merupakan peraturan hukum yang bersifat memaksa dan mengikat.
Ketidakadilan hukum di indonesia akan berjalan apabila pihak penegak hukum menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya, dan memberikan hukuman yang sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya baik dari kalangan bawah maupun dari kalangan atas dengan tegas.
Seperti kasus dibawah ini tentang seorang nenek yang  mencuri 3 buah kakao dan akibat perbuatannya itu ia dikenakan hukuman 1,5 kurungan atau (1 bulan 15 hari). hukuman yang diberikan terhadap nenek itu tidak salah yang jadi permasalahannya sekarang adalah nenek yang mencuri 3 kakao saja dihukum tetapi orang yang mencuri lebih dari apa yang diperbuat nenek tersebut justru tidak dihukum.

B.     Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui perkembangan  hukum di negara, terutama di indonesia agar kita mengerti dan mengetahui kondisi hukum di Indonesia apakah sudah berjalan dengan semestinya atau malah sebaliknya, dan dengan kita mengetahui perkembangan hukum di Indonesia kita dapat memperbaiki penegakkan hukum dinegara Indonesia kita kedepannya.
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Kasus Ketidak Adilan Hukum Di Indonesia

Ketidak adilan hukum di Indonesia selalu terjadi antara golongan bawah dengan golongan atas seperti kasus yang terjadi yaitu hukum hanya berlaku bagi pencuri kakao, pencuri pisang, dan pencuri semangka (koruptor dilarang masuk penjara).
Ketidak adilan hukum yang terjadi di Indonesia masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum.
Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan adalah salah satu contoh ketidak adilan hukum di Indonesia. Kasus ini berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah. Kami setuju apapun yang namanya tindakan mencuri adalah kesalahan. Namun demikian jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Masak nenek-nenek kayak begitu yang buta huruf dihukum hanya karena ketidak tahuan dan keawaman Nenek Minah tentang hukum.
Menitikkan air mata ketika kita menyaksikan Nenek Minah duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya yang sudah keriput dan tatapan kosongnya. Untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek Minah harus meminjam uang Rp. 30.000,- untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Seorang Nenek Minah saja bisa menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya transportasi. Seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin banyak yang mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang dibuat-buat atau alasan lainnya,seperti korupsi kelas kakap. Tidak malukah dia dengan Nenek Minah? Pantaskah Nenek Minah dihukum hanya karena mencuri 3 buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari Rp. 10.000,-? Dimana prinsip kemanusiaan itu?

Inilah sebenarnya yang menjadi ketidak adilan hukum yang terjadi di Indonesia. Begitu sulitnya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. karena mereka punya kekuasaan, punya kekuatan, dan punya banyak uang sehingga bisa mengalahkan hukum dan hukum tidak berlaku bagi mereka para koruptor. Kami sangat prihatin dengan keadaan ini.
Sangat mudah menjerat hukum terhadap Nenek Minah, gampang sekali menghukum seorang yang hanya mencuri satu buah semangka, begitu mudahnya menjebloskan ke penjara suami-istri yang kedapatan mencuri pisang karena keadaan kemiskinan. Namun demikian sangat sulit dan sangat berbelit-belit begitu akan menjerat para koruptor dan pejabat yang tersandung masalah hukum di negeri ini. Ini sangat diskriminatif dan memalukan sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Padahal  dihadapan hukum mereka mempunyai kedudukan sama.
Kami tidak membenarkan tindakan pencurian yang dilakukan  oleh Nenek Minah dan mereka-mereka yang mempunyai kasus seperti Nenek Minah. Kami juga tidak membela perbuatan yang dilakukan oleh Nenek Minah dan mereka-mereka itu. Tetapi yang jadi masalah adalah dimana keadilan itu, dimana prinsip kemanusian, seharusnya para penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan hanya menjalankan hukum secara positifistik.
Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang
mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya.
Muflih Bambang Lukmono, Hakim Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah yang menangani kasus nenek Minah, yang dituduh mencuri 3 biji buah kakao terbata-bata dan menahan air mata. Hal ini karena ia tak kuasa menahan haru saat akan membacakan putusannya di depan terdakwa yang sangat lugu. Sementara beberapa pengunjung sidang juga terlihat meneteskan air mata.
Hakim akhirnya memutuskan pidana penjara selama satu bulan lima belas hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah dijalani terdakwa. Putusan inipun langsung disambut tepuk tangan para pengunjung sidang.
Kasus ini menjadi menarik dan menjadi perhatian wartawan, LSM dan pengamat hukum karena di saat turunnya kredibilitas penegak hukum yaitu polisi dan kejaksaan, justru ada seorang nenek yang dituduh mencuri 3 biji buah kakao dan dimeja hijaukan.
Sebelumnya, Nenek Minah yang berusia lima puluh lima tahun, Warga Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini sudah menjalani masa tahanan rumah selama 3 bulan. Hal ini ia jalani setelah mendapatkan pemeriksaan dari pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto yang menangani kasusnya.
Minah dituduh mencuri buah kakao atau buah coklat sebanyak 3 biji dari tempatnya ia bekerja di PT. Rumpun Sari Antan 4 di Desa Darmakradenan tak jauh dari rumahnya. Sementara itu, pihak Jaksa Penuntut Umum masih pikir-pikir terhadap putusan yang dibacakan hakim ketua. “Saya masih pikir-pikir dahulu atas keputusan hakim,” ujar Nurhaniah SH, Jaksa Penuntut Umum, Kamis (20/11/2009).
Rasa simpati juga ditunjukkan warga yang mengikuti sidang ini. Mereka secara spontan menyumbangkan uangnya kepada nenek Minah untuk ongkos pulang ke kampungnya yang berjarak sekitar 45 kilometer dari pengadilan.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apa bangsa ini sudah dibilang merdeka dan mandiri sedangkan hukumnya saja di kontrol dengan uang? Indonesia bahkan belum dapat di bilang sepenuhnya merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan pemerintahannya sendiri.
Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.
Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”.
            Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-
Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawabnya.
2.      Tinjauan Kasus Pencurian Biji Kakao oleh Mbok Minah Terhadap Asas Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilan

a.       Tinjauan dari Segi Hukum

Apabila menilik kasus pencurian biji kakao yang dilakukan oleh Mbok Minah, sebenarnya hal tersebut merupakan hal yang biasa di dunia penegakan hukum di Indonesia. Ketika seseorang terbukti melakukan suatu perbuatan pidana, dan perkaranya diproses hingga ke tingkat pengadilan , maka sudah semestinya orang tersebut sudah semestinya dipidana.
Berdasarkan tujuan hukum, putusan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut telah tepat, Karena sesuai asas kepastian hukum, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan terdakwanya masyarakat miskin serta, benar dan salahnya seseorang harus dibuktikan terlebih dahulu di persidangan yang terbuka untuk umum, serta hakim telah melihat bukti-bukti yang ada di persidangan bahwa dari bukti tersebut hakim berpandangan bahwa nenek minah terbukti bersalah
Namun dari data yang diperoleh dari berbagai sumber, berdasarkan analisis saya, dalam kasus nenek minah kesalahan terjadi ketika proses penyidikan berlangsung, seharusnya penyidik polri dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) demi kepentingan umum berdasarkan asas oportunitas, dan juga kepemilikan tanah perkebunan tersebut masih menjadi sengketa kepemilikan.
Serta dari proses penyidikan sampai dengan proses persidangan  telah terjadi pelanggaran Miranda rules sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Padahal pasal yang disangkakan dan didakwakan adalah pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
Dalam penegakan hukum ini telah terjadi pelanggaran hukum, yaitu hak nenek minah untuk didampingi penasihat hukum telah dilanggar. Ibarat dalam peribahasa “mencuci baju kotor dengan air combera”, yang bermakna menegakan hukum dengan melanggar hukum.

b.      Tinjauan Sosiologis

Jika ditinjau dari sisi sosiologis maka kasus  ini adalah kasus yang tidak layak untuk dilanjutkan dalam proses peradilan, walaupun kenyataannya perbuatan Mbok Minah  telah memenuhi unsur melawan hukum dalam pasal 362 tentang pencurian dengan ancaman pidana penjara 5 tahun. Secara kemasyarakatan buah kakao yang diambil oleh Mbok Minah yang nilainya tak lebih dari Rp. 2100,00 tidak sebanding dengan proses peradilan yang dijalaninya.  Seharusnya PT. RSA dan pihak kepolisian berinisiatif untuk menyelesaikan masalah kecil seperti ini secara kekeluargaan, tidak perlu dilanjutkan ke proses peradilan. Secara kemasyarakatan jika kasus ini ditinjau secara mendalam maka kasus ini tidak memenuhi unsur keadilan dalam masyarakat, Apalagi jika dibanding-bandingkan dengan kasus korupsi yang terkesan prosesnya tebang pilih dan prosesnya terulur-ulur. Mbok minah merupakan seseorang nenek tua yang tidak bisa membaca papan peringatan milik PT. RSA dan juga dia tidak jadi mengambil kakao tersebut (mengembalikan kakao kepada mandor) serta juga telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf.  Pandangan masyarakat menyimpulkan bahwa unsur-unsur sosial tersebut merupakan hal yang harus dipertimbangkan oleh pihak yang merasa dirugikan atau pihak penegak hukum untuk melanjutkan proses peradilan terhadap Mbok Minah, walaupun hakim memutuskan hukuman 1 bulan tanpa harus dikurung. Putusan hakim tersebut menunjukkan bahwa perbuatan Mbok Minah salah secara hukum, tapi secara sosiologis hal tersebut tidak menunjukkan keadilan.

3.      Analisis kasus sosiologi hukum tentang ketidakadilan hukum di Indonesia.

Dari kasus diatas dapat kita lihat terjadinya ketidak adilan hukum tetapi bukan berarti  membenarkan tindakan pencurian oleh Nenek Minah dan mereka-mereka yang mempunyai kasus seperti Nenek Minah. Perbuatan yang dilakukan oleh Nenek Minah dan temannya yang lain adalah perbuatan yang salah dan harus dijatuhi hukuman. Tetapi yang jadi masalah adalah dimana keadilan itu, dimana prinsip kemanusian, seharusnya para penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan hanya menjalankan hukum secara positifistik dimana hukum hanya berlaku bagi yang lemah saja.

Sebab-sebab terjadinya tindakan pidana yang dilakukan oleh nenek Minah adalah sebagai berikut:
·         Kondisi ekonomi, sehingga ia terpaksa mencuri buah karena perutnya lapar;
·         Tidak memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya;
·         Karena ketidak tahuan Nenek Mminah tetang hukum di Indonesia maksudnya Nenek Minah beranggapan kalau perbuatan yang dilakukannya itu tidak akan dihukum karena hanya mencuri dalam jumlah yang sangat sedikit padahal banyak atau sedikit pencurian yang dilakukan tetaplah namanya pencurian.


Dampak dari tindakan pencurian yang dilakukan :
Tindakan pencurian yang dilakukan Nenek Minah  mengakibatkan
kerugian bagi pihak lain dan juga bagi Nenek Minah sendiri karena
dengan tindakannya ini ia divonis kurungan selama 1,5 bulan.

4.      Solusi Dari Kasus Ketidak Adilan Hukum Di Indonesia

a.          Perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.

b.         Sebaiknya penegakkan hukum menegakkan hukum dengan tegas sesuai dengan kesalahan yang dilakukan tampa membedakan pihak satu dengan lainnya karena kedudukan kita dihadapan hukum sama.

c.          Kedua belah pihak harus menaati hukum sebagaimana mestinya dan ini tidak hanya bagi penegak hukum saja tetapi seluruh warga negara indonesia.

5.      Sosiologi Hukum dalam kehidupan dan kenyataan yang terjadi di kehidupan masyarakat.

Soiologi hukum merupakan peraturan hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala sosial. Jadi didalam kasus seorang nenek yang mencuri 3 kakao dan juga temannya yang lain dijatuhi hukuman sedangkan yang melakukan korupsi kelas kakap tidak dihukum secara langsung tapi membutuhkan waktu yang lama. Dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala sosial yang terjadi seperti kasus tersebut yang mengakibat diberikan hukuman pada orang yang telah melakukan kesalahan dengan hukuman yang sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya. Tetapi yang jadi masalahnya sekarang bagi pihak yang kuat tidak diberikan hukuman sesuai dengan apa yang diperbuatnya.
Dalam kasus ini dapat kita lihat terjadinya ketidak sesuaian hukum dengan kenyataan, padahal seperti yang kita ketahui sosiologi hukum memiliki banyk kegunaan diantaranya:

a.       Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum didalam kontek sosial tetapi kenyataan yang kita lihat walaupun orang mengetahui dan memahami hukum tersebut tapi tidak menjalankannya dan mempaktekkannya dalam kehidupan nyata.
b.      Penguasaan konsep sosiologi hukum dapat memeberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mncapai keadaan-keadaan yang sesuai tetapi kenyataan yang terjadi dalam masyarakat konsep yang telah diketahui tidah dijalankan sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai kejahatan dalam kehidupann masyarakat seperti kasus yang terjadi diatas.

c.       Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum didalam masyarakat tetapi kenyataan yang kita lihat pihak yang lemah langsung dihukum apabila melakukan kesalahan tetapi bagi pihak yang kuat tidak langsung dikenakan hukuman.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dalam kasus ini memang putusan yang diberikan oleh hakim telah memenuhi unsur  kepastian hukum tetapi belum memenuhi unsur keadilan dan kemanfaatan. Selain hal tersebut hakim juga dilarang untuk menolak perkara.Namun bila ditinjau dari awal proses penyidikan tidak memenuhi rasa keadilan kerena nenek minah bukanlah satu-satunya orang yang mengambil kakao dari kebun tersebut,nenek minah mengatakan bahwa sebelum kasus nenek minah diangkat ke jalur litigasi,memang sudah banyak warga sekitar yang mengambil kakao di kebun tersebut.Hal ini menunjukan bahwa tidak adanya asas equality before the law atau semua orang sama di depan hukum.Dan dalam proses ini juda terdapat indikasi bahwa proses kasus nenek minah terdapat tekanan dari pihak lain kepada pihak penyidik agar memproses kasus ini karena tanah perkebunan yang masih menjadi sengketa antara TNI dengan warga setempat.Memang seharusnya sebuah tindakan yang bertentangan dengan hukum harus diproses demi memberikan efek jera kepada pelaku hukum.                   
Kasus ini juga telah mencoreng asas kemanfaatan karena biaya kerugian yang di derita  oleh PT. Rumpun Sari Antan (RSA) akibat kehilangan 3 biji kakau tidak sebanding dengan besarnya biaya perkara dan derita finansial yang di derita oleh nenek minah karena dirinya tidak mampu berkerja selama proses perkara berlangsung,sedangkan nenek minah hanyalah wanita tua yang berpenghasilan kecil. Selain itu besar kerugian yang diderita oleh              PT. Rumpun Sari Antan (RSA) juga tidak sebanding dengan dampak sosial yang diderita oleh Mbok Minah.
Apabila di telaah secara sosiologis memang seharusnya kasus pencurian kakau oleh Mbok Minah tidak perlu dibawa ke jalur litigasi. Karena bila melihat sisi sosial dari mbok Minah, kasus tersebut  diselesaikan secara rukun tetangga ataupun bisa juga diganti dengan kewajiban lapor bagi pelaku. Untuk masyarakat seukuran Mbok Minah yang awam dengan bidang hukum,wajib lapor  sudah cukup untuk menimbulkan efek jera. Bila kita lihat dalam prakteknya,banyak perkara yang ancamanya lebih tinggi dari pada yang dilakukan oleh Mbok Minah, namun perkara tidak dilanjutkan ke proses penuntutan dan pemeriksaan,hanya saja pelaku dibebani untuk wajib lapor. Dalam hal ini aparat hukum terlalu berpatokan kepada apa yang tertulis di dalam KUHP. Seharusnya dalam menangani perkara hukum, aparat tak hanya mengeja atau membaca teks KUHP. Aparat mestinya juga menggunakan pendekatan hati nurani dan akal sehat. Sebab, ketika aparat hanya mengacu pada teks undang-undang, keadilan yang didapat masyarakat hanya bersifat formal. Berbeda dengan ketika menggunakan akal sehat dan hati nurani, yang didapat adalah keadilan substansial.Oleh karena itu sejak awal perkara seharusnya polisi dapat melakukan diskresi, yakni penghentian perkara pidana selama penyidikan. Adapun di kejaksaan dikenal istilah deponering atau penghentian perkara demi kepentingan umum.
Dengan ilmu filsafat hukum yang saya pelajari, kasus ini memang terjadi adanya kepastian hukum, akan tetapi asas kemanfaatan dan keadilan tidak mengena, dan ini yang sering timbul dalam kehidupan hukum di Indonesia. Terkadang aparat kita sering tebang pilih, kasus korupsi yang merupakan kasus berat yang sangat penting untuk diperoleh untuk kepastian hukum di Indonesia malah tidak diproses. Suatu realita yang sangat menyedihkan dan segera harus dirubah.

B.     Saran
Untuk dapat keluar dari situasi ketidakadilan penegakan hukum di Indonesia, maka harus ada usaha pembebasan diri dari cara kerja yang konvensional yang diwariskan oleh madzab hukum positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal procedural yang justru melahirkan keadilan yang bersifat formal bukan keadilan substansial. Pencerahan dan pembebasan dari belenggu formal prosedural itu barang tentu hanya dapat ditempuh melalui paradigma hukum progrosif yang sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tidak hanya dibatasi untuk mencapai kepastian, tapi yang jauh lebih besar dari itu adalah untuk mencapai kedilan sejati. Hal ini, hanya dapat terwujud dan didapatkan melalui penegakan hukum secara progresif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar